Alhamdulillah washshalatu wassalaamu ‘ala nabiyyihi almukhtar min khalqihi muhammad wa ‘ala alihi wa as-habih wa man tabi’ahu ittiba-an shahihan ikhlashan.
Para ulama berbeda pendapat apakah orang kafir yang masuk Islam wajib atau disunnahkan untuk mandi. Tulisan ini akan sedikit memaparkan pendapat para ulama beserta dalil-dalil yang mereka gunakan dalam berargumen. Namun hal penting yang harus diketahui bahwa di balik perbedaan pendapat ini, mereka bersepakat bahwa orang kafir yang masuk Islam disyariatkan untuk mandi.[1]
Pendapat Pertama
Wajib bagi orang kafir yang masuk Islam untuk mandi baik ia sedang haidh, junub dan lain-lain yang mewajibkan mandi maupun ia tidak sedang berada pada kondisi tersebut.
Dalil-dalil yang menjadi pijakan
Pertama:
عن أبي هريرة رضي الله عنه في قصة ثمامة بن أثال عندما أسلم وأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يغتسل. رواه عبد الرزاق وأصله متفق عليه
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang kisah Tsumaamah Ibnu Utsal ketika ia masuk Islam dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallammemerintahkannya untuk mandi[2].
Kedua:
Qais ibnu ‘Ashim menuturkan:
Qais ibnu ‘Ashim menuturkan:
أتيت النبي صلى الله عليه وسلم أريد الإسلام فأمرني أن أغتسل بماء وسدر
“Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku ingin masuk Islam. Lantas beliau memerintahkan aku mandi dengan air dan bidara”[3]
Selain Tsumaamah bin Utsal dan Qais bin ‘Ashim, sebagian sahabat yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mandi adalah Watsilah bin Asqa’, Qatadah dan ‘Uqail bin Abi Thalib[4].
Kedua hadits di atas dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa orang kafir wajib mandi ketika masuk Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallammemerintahkan mereka untuk mandi. Berdasarkan kaidah bahwa hukum asal perintah adalah wajib maka mandi yang menjadi perintah Nabi shallahu ‘alaihi wasallam di atas hukumnya adalah wajib[5].
Pendapat ini dipegang oleh imam Ahmad dan imam Malik[6]. Inilah pula pendapat yang dikuatkan Ibnu Mundzir, al-Khaththabiy, Asy-Syaukaniy dan lain-lain[7].
Pendapat Kedua
Tidak wajib bagi orang yang masuk Islam untuk mandi kecuali jika ia sedang haidh, junub dan lain-lain saat berada dalam kekafirannya. Kondisi inilah yang mewajibkan mereka untuk mandi. Jika mereka tidak pada kondisi ini maka disunnahkan untuk mandi[8]. Inilah pendapat yang pegang oleh Imam Asy-Syafi’i[9]. Begitu pula, seperti diungkapkan oleh Al-Khatthtabiy, kebanyakan para ulama memilih pendapat ini[10].
Pendapat Ketiga
Tidak wajib mandi sama sekali. Inilah pendapat yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah[11].
Argumen Pendapat Kedua Dan Ketiga
Pertama
Banyak dari kalangan sahabat kala itu yang masuk Islam namun tidak dinukil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk mandi. Sekiranya ini adalah perkara yang wajib maka ini akan menjadi suatu yang banyak dinukil dan masyhur. Sekiranya wajib, hal ini pula tidak akan dikhususkan hanya teruntuk sebagian yang masuk Islam. Ini menjadi indikasi bahwa status hukum wajib mengarah ke hukum sunnah[12].
Begitu pula ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Mu’adz ke Yaman. Beliau berpesan:
ادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله. . .
“Serulah mereka menuju syahadat ‘Tidak ada ilaah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya…”[13]
Mereka berpendapat, sekiranya mandi setelah masuk Islam sesuatu yang wajib maka tentulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan memerintahkan mereka untuk mandi sebagai kewajiban pertama dalam Islam[14].
Kedua
Dalam kisah keIslaman Tsumaamah bin ‘Utsal memiliki dua riwayat. Riwayat pertama telah disebutkan di atas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallammemerintahkannya untuk mandi. Namun pada riwayat kedua yang terdapat dalam Shahihain bahwa Tsumaamah bin ‘Utsal sendiri yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mandi tanpa perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu dia masuk Islam. Ini mengindikasikan bahwa mandi, pada riwayat ini, adalah taqrir / penetapan / persetujuan dari Nabi tanpa ada perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga mandi bukanlah suatu yang wajib. Ini sebagaimana dalam pandangan ahli ushul[15].
Kesimpulan
Sebagai penutup, kami lebih memilih pendapat pertama yaitu wajibnya mandi bagi mereka yang masuk Islam. Menjawab argumen pendapat kedua dan ketiga, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengungkapkan bahwa dasar hukum sebuah perintah adalah wajib. Ketiadaan penukilan bahwa setiap orang yang masuk Islam tidak diperintahkan untuk mandi, saat itu, bukanlah sebuah dalil yang menunjukkan bahwa mereka tidak mandi[16]. Ketiadaan penukilan perintah mandi pada setiap orang yang masuk Islam saat itu tidak menunjukkan ketiadaan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena memang perkara ini adalah perkara yang masyhur[17].
Begitu pula hadits yang termaktub dalam Shahihain, seperti yang diketahui, Tsumaamah bin ‘Utsal sendiri yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mandi tanpa perintah beliau kemudian masuk Islam. Ini tak ada bedanya baik dia mandi sendiri maupun diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan terkadang, proses mandi Tsumaamah, dalam riwayat ini, adalah menjadi bagian dari perintah nabi yang masyhur[18].
Tentu saja yang terbaik bagi orang kafir yang masuk Islam adalah mandi. Para ulama yang memilih sunnah juga menyarankannya karena ini lebih hati-hati sehingga keluar dari perselisihan ulama. Berdasarkan kaidah para ulama bahwa keluar dari perselisihan ulama begitu dianjurkan selama tak masuk ke dalam perselisihan yang lain. Perlu dan sangat penting diketahui bahwa di balik perbedaan pendapat ini, mereka bersepakat bahwa orang kafir yang masuk Islam disyariatkan untuk mandi[19].
Lebih dari itu, mandi setelah masuk Islam tentu saja memiliki hikmah dan keutamaan yang agung dan luar biasa selain keutamaan bahwa dia telah mengikuti perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
[Diselesaikan di Asrama LIPIA tercinta. Jakarta Selatan, Jum’at, 3 Shafar 1435 H/ 06 Desember 2013]
Catatan Kaki
[1] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 381, Jilid 1.
[2] Diriwayatkan ‘Abdurrazzaq dan asalnya muttafaqun ‘alaihi. Lihat Bulughul Maram pada kitab at-Thaharah bab al-Ghasl wa Hukmu al-Junb
[3] Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud (355), at-Tirmidziy (605), an-Nasa-iy (1/109), dan Ahmad (34/216).
[4] Lihat kitab Mulakhkhas Fiqhiyy, pada catatan kaki no. 2, hal 65, Jilid 1.
[5] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 380, Jilid 1 dan kitab Min-hatul ‘Allaam, hal 25, Jilid 2.
[6] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 380, Jilid 1
[7] Lihat kitab Min-hatul ‘Allaam, hal 25, Jilid 2
[8] Ibid
[9] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 380, Jilid 1
[10] Lihat Lihat pula kitab Min-hatul ‘Allaam, hal 26, Jilid 2.
[11] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 380, Jilid 1.
[12] Ibid , hal 381. Lihat pula kitab Min-hatul ‘Allaam, hal 26, Jilid 2.
[13] HR al-Bukhariy (1395) dan Muslim (19)
[14] Lihat pula kitab Min-hatul ‘Allaam, hal 26, Jilid 2
[15] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 381, Jilid 1.
[16] Lihat kitab Fath Dzil Jalaal wal Ikram, hal 330, jilid 1.
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 381, Jilid 1.
[2] Diriwayatkan ‘Abdurrazzaq dan asalnya muttafaqun ‘alaihi. Lihat Bulughul Maram pada kitab at-Thaharah bab al-Ghasl wa Hukmu al-Junb
[3] Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud (355), at-Tirmidziy (605), an-Nasa-iy (1/109), dan Ahmad (34/216).
[4] Lihat kitab Mulakhkhas Fiqhiyy, pada catatan kaki no. 2, hal 65, Jilid 1.
[5] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 380, Jilid 1 dan kitab Min-hatul ‘Allaam, hal 25, Jilid 2.
[6] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 380, Jilid 1
[7] Lihat kitab Min-hatul ‘Allaam, hal 25, Jilid 2
[8] Ibid
[9] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 380, Jilid 1
[10] Lihat Lihat pula kitab Min-hatul ‘Allaam, hal 26, Jilid 2.
[11] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 380, Jilid 1.
[12] Ibid , hal 381. Lihat pula kitab Min-hatul ‘Allaam, hal 26, Jilid 2.
[13] HR al-Bukhariy (1395) dan Muslim (19)
[14] Lihat pula kitab Min-hatul ‘Allaam, hal 26, Jilid 2
[15] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 381, Jilid 1.
[16] Lihat kitab Fath Dzil Jalaal wal Ikram, hal 330, jilid 1.
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Lihat kitab Tau-dhihul Ahkam, hal 381, Jilid 1.
Referensi
- Kitab Fath Dzil Jalaal wal Ikram bi Syarhi Bulughil Maram karya syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, jilid 1, penerbit al-Maktabah Islamiyyah, al-Qahirah, Mesir
- Kitab Min-hatul ‘Allaam fiy Syarhi Bulughil Maram karya ‘Abdullah bin Shaleh al-Fauzan, jilid 2, penerbit Dar Ibn al-Jauziy, al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah.
- Kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram karya syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, jilid 1, penebir Maktabah al-Asadiy, Makkah al-Mukarramah.
- Kitab al-Mulakhkhash al-Fiq-hiyy karya syaikh Shaleh ibn Fauzan ibn Abdullah al-Fauzan, jilid 1, terbitan Riyadh, al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah.
—
Penulis: Fachriy Aboe Syazwiena
Artikel Muslim.Or.Id