Salah satu penyebab menyebarnya fenomena kemusyrikan seperti sekarang ini adalah adanya keyakinan masyarakat kita bahwa ada benda mati yang memiliki “kesaktian” atau “kekuatan ghaib” tertentu. Padahal, keyakinan seperti ini adalah keyakinan orang-orang bodoh pada masa jahiliyyahberabad-abad yang lampau. Namun, keyakinan seperti ini ternyata masih terpelihara dalam diri sebagian kaum muslimin. Bagaikan suatu penyakit kronis yang menggerogoti aqidah mereka yang sewaktu-waktu bisa menjadi “serangan akut” (kambuh lagi secara tiba-tiba). Tulisan ini kami maksudkan untuk menjelaskan bahwa keyakinan tersebut adalah keyakinan yang batil dan harus ditinggalkan. [1]
Percaya pada Benda Keramat Merupakan Karakteristik Jahiliyyah
Kalau kita mau merenung sejenak, salah satu akar permasalahan dari berbagai fenomena kemusyrikan di sekeliling kita adalah adanya kepercayaan sebagian kaum muslimin terhadap benda-benda mati. Mereka menganggap bahwa benda mati tertentu memiliki kekuatan, kesaktian, atau keistimewaan yang sangat dahsyat, sehingga bisa dijadikan sebagai jimat, senjata, obat, atau yang lainnya. Padahal, kepercayaan seperti ini hanyalah bersumber dari khurafat dan khayalan semata.
Keyakinan seperti ini masih mendarah daging dalam sebagian kaum muslimin di negeri kita ini. Tentu kita tidak asing lagi dengan sebutan “batu akik”,yang menurut sebagian orang memiliki kekuatan ghaib atau kekuatan supranatural tertentu sehingga bisa dipakai sebagai jimat atau senjata kesaktian. Atau keyakinan sebagian orang bahwa pusaka peninggalan kerajaan seperti keris, tombak, atau kereta raja memiliki kekuatan mistis tertentu. Bahkan ada yang rela mengeluarkan hartanya untuk mengoleksi benda-benda keramat tersebut untuk berbagai tujuan yang mereka inginkan.
Sekelompok masyarakat yang lain, apabila mereka melihat sebuah pohon yang besar, rindang, umurnya ratusan tahun, akar-akarnya besar, mereka pun mengeramatkannya, dan meyakini bahwa pohon tersebut dapat mendatangkan berkah. Sehingga janganlah kita heran kalau mereka pun kemudian mempersembahkan berbagai sembelihan yang diletakkan di bawah pohon tersebut.
Kepercayaan inilah yang merupakan salah satu ciri khas atau karakteristik masyarakat musyrik jahiliyyah sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka biasa menggantungkan harapan dan hidup mereka kepada benda-benda mati tertentu yang menurut mereka dapat mendatangkan manfaat dan menolak marabahaya. Keyakinan seperti itu pada akhirnya membawa mereka kepada penyembahan kepada benda-benda mati tersebut, sebagaimana yang nanti akan kami bahas di bagian ke dua.
Namun, kepercayaan khurafat seperti ini telah dihapus dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika beliau berkhutbah pada Haji Wada’,
أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَىَّ مَوْضُوعٌ
“Ketahuilah, seluruh perkara jahiliyyah terkubur di bawah kedua telapak kakiku.” [2]
An-Nawawi rahimahullah berkata,“Adapun perkatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,’(Terkubur) di bawah kedua telapak kakiku’, (hal ini) merupakan isyarat akan terhapusnya perkara tersebut.” [3]
Demikianlah, karakteristik jahiliyyah tersebut telah dihapus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diganti dengan ajaran beliau yang berporos pada ajaran tauhid. Yaitu beribadah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada Allah Ta’ala saja, hanya meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Ta’ala saja, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Jika Engkau meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika Engkau memohon pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah.” [4]
Oleh karena itu, yang pertama kali dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kembali lagi ke kota Mekah adalah menghancurkan bentuk-bentuk kemusyrikan yang merupakan karakteristik masyarakat jahiliyyah dan menghancurkan simbol-simbol penyembahan kepada selain Allah Ta’ala. Hal ini bisa dilihat dari tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat memasuki kota Mekah, beliau bergegas menuju Ka’bah dan menghancurkan berhala-berhala di sekitar Ka’bah yang berjumlah sekitar 360 berhala dengan sebilah kayu di tangan beliau. Dari Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
دَخَلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَكَّةَ وَحَوْلَ الْبَيْتِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ نُصُبٍ فَجَعَلَ يَطْعُنُهَا بِعُودٍ فِى يَدِهِ وَيَقُولُ ( جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا ) ( جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ )
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki kota Mekah dan di sekitar Ka’bah terdapat tiga ratus enam puluh buah patung. Maka beliau menusuk patung-patung itu dengan sebilah kayu yang ada di tangannya sambil mengatakan, “Dan katakanlah, ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap’. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al-Isra’ [17]: 81) “Katakanlah, ’Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi’” (QS. Saba’ [34]: 49).” [5]
Kebenaran ajaran tauhid inilah yang kemudian ditanamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya selama bertahun-tahun beliau berdakwah. Oleh karena itulah, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup bersama para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dan menjumpai berbagai benda “aneh bin ajaib” baik yang berwujud batu, pohon, atau benda-benda mati lainnya, mereka sama sekali tidak pernah mengeramatkannya, menganggapnya memiliki kekuatan supranatural, mempunyai kesaktian, atau anggapan-anggapan khayalan lainnya. Tidak adadi antara para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang kemudian mencari, menyimpan, mengeramatkan, mengoleksi, atau bahkan menggunakannya sebagai jimat atau benda sakti, atau memujanya sebagai tempat meminta pertolongan agar sembuh dari penyakit. Berikut ini sebagian dari benda-benda ajaib tersebut.
Batu di Mekah dan Batang Kurma yang Bisa Berbicara
Terdapat sebuah batu di Mekah yang bisa berbicara, dengan memberikan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Beliau masih mengetahui keberadaan batu tersebut ketika beliau sudah diangkat menjadi Rasul, namun beliau dan para sahabat yang mengetahuinya tidak pernah berburu mencari batu tersebut, membawanya pulang, dan digunakan sebagai jimat. Jabir bin Samrahradhiyallahu ‘anhu menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّى لأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَىَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّى لأَعْرِفُهُ الآنَ
“Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Mekah yang memberi salam kepadaku, sebelum aku diangkat menjadi Nabi. Sesungguhnya aku masih mengetahuinya sampai sekarang.” [6]
Al-Manawi rahimahullah mengatakan,”Ucapan salam ini adalah ucapan salam yang hakiki (bukan kiasan, pent.). Allah Ta’ala membuatnya bisa berbicara sebagaimana Allah juga membuat batang kurma yang bisa bicara.” [7]
Syaikh Al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan sabda Rasulullah ‘memberi salam kepadaku’ dengan mengatakan, ”Maksudnya, mengucapkan,’Assalaamu ‘alaika, Ya Rasulullah’ sebagaimana yang terdapat dalam sebuah riwayat.” [8]
Lihatlah “kehebatan” yang Allah Ta’ala berikan kepada batu ajaib tersebut, sehingga dia bisa berbicara mengucapkan salam kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, apakah dengan kemampuannya itu lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai batu keramat? Apakah para sahabat radhiyallahu ‘anhum kemudian berebut mencari keberadaan batu tersebut untuk memperoleh kesaktian?
Kisah batang kurma yang bisa bicara sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Manawi rahimahullah tersebut di atas diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillahradhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ يَسْتَنِدُ إِلَى جِذْعِ نَخْلَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ فَلَمَّا صُنِعَ الْمِنْبَرُ وَاسْتَوَى عَلَيْهِ اضْطَرَبَتْ تِلْكَ السَّارِيَةُ كَحَنِينِ النَّاقَةِ حَتَّى سَمِعَهَا أَهْلُ الْمَسْجِدِ حَتَّى نَزَلَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْتَنَقَهَا فَسَكَتَتْ
“Dulu jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, beliau bersandar pada batang kurma di salah satu tiang masjid. Ketika mimbar selesai dibuat, dan beliau berdiri di atasnya, tiang tersebut menangis bagaikan tangisan seekor unta. Orang-orang yang berada di masjid mendengarnya, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun mendatangi tiang itu, memeluknya, barulah dia diam.” [9]
Rasulullah mengusap batang kurma tersebut bukan untuk mencari berkah, namun beliau mengusapnya untuk membuat batang kurma itu diam. Hal ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah tidak menganggap “batang kurma ajaib” tersebut memiliki kekuatan tertentu. Demikian pula, para sahabat tidak ada satu pun yang mengeramatkan “batang kurma ajaib” itu.
Hajar Aswad
Lalu, ada batu lagi yang seluruh umat Islam sepakat bahwa batu ini adalah batu yang paling mulia, yaitu Hajar Aswad. Jutaan jamaah haji berebut untuk dapat menciumnya pada saat menunaikan ibadah haji sebagai bentuk sikap mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menjelaskan keistimewaan batu tersebut,
نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِى آدَمَ
“Hajar aswad turun dari surga dalam kondisi yang jauh lebih putih dari susu, namun dosa-dosa manusia membuatnya menjadi hitam.“ [10]
Dalam riwayat yang lain disebutkan,
الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنْ الْجَنَّةِ
“Hajar aswad itu berasal dari surga.” [11]
Inilah keistimewaan hajar aswad, yaitu batu yang berasal dari surga. Namun, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatradhiyallahu ‘anhum menganggap batu ini sebagai batu sakti? Tidak ada satu pun yang mempunyai anggapan –apalagi keyakinan- demikian. Batu itu tetaplah batu biasa, yang tidak bisa berbuat apa-apa, baik mendatangkan manfaat atau menolak bahaya.
Oleh karena itulah, salah seorang sahabat yang mulia, yaitu Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, berkata ketika mencium hajar aswad tersebut di hadapan kaum muslimin,
إِنِّى أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ ، وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu itu hanyalah batu (biasa) yang tidak bisa mencelakakan dan tidak bisa pula memberikan manfaat.Seandainya aku tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, tentu aku tidak akan menciummu”. [12]
Ath-Thabari rahimahullah berkata,“Umar mengatakan yang demikian itu hanyalah karena keadaan masyarakat saat itu yang baru saja (meninggalkan) peribadatan kepada berhala. Umar khawatir kalau orang yang masih bodoh menyangka bahwa menyentuh batu (hajar aswad) termasuk dari sikap pengagungan terhadap batu, sebagaimana yang terjadi pada bangsa Arab pada masa jahiliyyah. Umar bermaksud mengajarkan kepada masyarakat bahwa menyentuh hajar aswad adalah karena (semata-mata) mengikuti perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan karena batu itu dapat memberikan manfaat dan mencelakakan (menimpakan bahaya) dengan sendirinya sebagaimana kepercayaan orang jahiliyyah terhadap patung-patung.” [13]
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata ketika menjelaskan kandungan pelajaran dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu di atas,“Perkataan Umar tersebut mengandung bantahan terhadap apa yang terjadi pada orang-orang bodoh yang meyakini bahwa hajar aswad mempunyai keistimewaan tertentu pada dzat-nya.” [14]
Demikianlah sikap yang seharusnya ketika kita mencium hajar aswad. Apa yang kita lakukan itu hendaklah semata-mata karena dilandasi keinginan untuk mencontoh perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan karena kepercayaan atau keyakinan “aneh-aneh” bahwa hajar aswad itu mampu mendatangkan berkah, sebagai penyembuh penyakit, mampu mendatangkan rizki, melancarkan usaha, dan kepercayaan-kepercayaankhurafat lainnya. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan bahwa hajar aswad itu dapat mendatangkan berkah, dapat digunakan untuk obat, atau dapat melancarkan usaha sehingga mendapatkan keuntungan yang banyak.
Batu Khandak
Salah satu batu ajaib yang terdapat pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah batu Khandak, yaitu batu bersinar yang ditemukan para sahabat ketika sedang menggali parit untuk menghadapi perang Khandak. Dari ‘Amr bin Auf Al-Muzanni, beliau menceritakan,
“Rasulullah membuat garis untuk kami pada waktu (perang) Ahzab untuk dibuat khandak (parit yang dalam). Lalu kami menemukan di dalam parit tersebut sebuah batu putih berbentuk bulat. Batu tersebut membuat alat-alat kami rusak dan merepotkan kami. Kami pun mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah pun mengambil linggis dari Salman Al-Farisi dan beliau memukul batu tersebut dengan sekali pukulan. Batu itu pun terbelah dan memancarkan cahaya yang menerangi segala penjuru kota Madinah, bagaikan sinar lampu (yang menerangi) malam hari yang gelap gulita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertakbir dan (diikuti pula) oleh seluruh kaum muslimin.
Rasulullah memukul lagi batu tersebut untuk ke dua kalinya, batu itu terbelah dan memancarkan cahaya yang menyinari kota Madinah. Rasulullah pun bertakbir dan (diikuti pula) oleh seluruh kaum muslimin. Rasulullah memukul lagi batu tersebut untuk yang ke tiga kalinya, batu itu terbelah dan memancarkan cahaya yang menyinari kota Madinah. Rasulullah pun bertakbir dan (diikuti pula) oleh seluruh kaum muslimin.
Maka kami (para sahabat) pun bertanya tentang hal itu. Rasulullah pun berkata,’Ditampakkan untukku (pada pukulan) yang pertama, istana Hirah (nama daerah jajahan Persia, pent.) dan kota Madain yang dikuasai oleh Kisra (gelar bagi raja-raja Persia, pent.), bagaikan gigi-gigi taring anjing. Jibril pun memberitahuku bahwa umatku akan menguasainya. Kemudian ditampakkan kepadaku (pada pukulan) yang ke dua, istana-istana merah dari bangsa Romawi, bagaikan gigi-gigi taring anjing. Jibril pun memberitahuku bahwa umatku akan menguasainya. Kemudian ditampakkan kepadaku (pada pukulan) yang ke tiga, istana-istana Shan’a (kota di Yaman), bagaikan gigi-gigi taring anjing. Jibril pun memberitahuku bahwa umatku akan menguasainya.’
Nabi bersabda, ‘Bergembiralah kalian dengan datangnya pertolongan Allah.’ Para sahabat pun merasa gembira dengan (datangnya) pertolongan, sehingga kaum muslimin pun menjadi optimis. Mereka berkata,’Segala puji bagi Allah, yang menepati janjinya. Allah menjanjikan kepada kita (dengan datangnya) pertolongan setelah pengepungan. Setelah itu, muncullah pasukan Ahzab. Kaum muslimin berkata,
“‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita’. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al-Ahzab [33]: 22)
Adapun orang-orang munafik, mereka berkata,’Tidakkah kalian heran? Dia (Muhammad) bercerita kepada kalian, menjanjikan, dan memberikan angan-angan kosong kepada kalian. Dia mengabarkan bahwasannya dia melihat dari kota Yatsrib (baca: Madinah) istana Hirah dan kota Madain Kisra, dan bahwa semua itu akan kalian kuasai. Padahal kalian sedang menggali parit dan kalian tidak mampu berhadapan dengan musuh secara langsung. Maka turunlah firman Allah Ta’ala dalam rangka membantah mereka,
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, ‘Allah dan rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.’” (QS. Al-Ahzab [33]: 12)” [15]
Lihatlah, betapa ajaibnya batu Khandak tersebut. Namun, apakah ada di antara para sahabat radhiyallahu ‘anhum atau bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang kemudian membawa pulang batu tersebut, menyimpannya, dan menjadikannya sebagai sumber kesaktian untuk mengalahkan musuh-musuhnya? Padahal saat itu mereka sedang merancang strategi dan membuat pertahanan untuk menghadapi perang Ahzab. Kalau mereka memiliki anggapan bahwa batu itu memiliki kesaktian, tentu mereka akan segera menggunakannya sebagai senjata melawan musuh-musuhnya. Namun, apakah kita mau mengambil pelajaran dari kisah batu Khandak ini?
Inilah beberapa kisah tentang “benda-benda ajaib” di masa Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak memiliki keyakinan yang aneh-aneh tentang benda-benda mati tersebut. Benda-benda itu hanyalah benda mati biasa yang tidak memiliki kekuatan apa-apa, tidak bisa mendatangkan manfaat dan tidak bisa pula menghilangkan bahaya. [Bersambung]
—
Referensi:
[1] Pada bagian pertama ini, penulis banyak mengambil faidah dari tulisan Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, di Majalah As-Sunnah, Edisi 01 Tahun XIII, Rabi’ul Tsani 1430 H.
[2] HR. Muslim no. 3009.
[3] Syarh Shahih Muslim, 4/312.
[4] HR. Tirmidzi no. 2516. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi.
[5] HR. Bukhari no. 4720.
[6] HR. Muslim no. 6078 dan Ahmad dalam Al-Musnad, 5/89.
[7] At-Taisiir bi Syarhi Al-Jami’ Ash-Shaghir, 1/747.
[8] Tuhfatul Ahwadzi, 10/69.
[9] HR. An-Nasa’i no. 1396. Dishahihkan oleh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An-Nasa’i.
[10] HR. Tirmidzi no. 877. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi.
[11] HR. An-Nasa’i no. 2935. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa’i.
[12] HR. Bukhari no. 1597.
[13] Fathul Baari, 5/255.
[14] Fathul Baari, 5/255.
[15] Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih, Abu Nu’aim, dan Al-Baihaqi. Lihat Ad-Durul Mantsuur, 6/574;Tafsir Ath-Thabari, 20/224-225; Sirah Nabawiyyah li Ibni Katsir, 3/192-193; dan Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, hal. 314-316. Penulis tidak mendapatkan kisah ini di kitab Shahiihul Musnad min Asbaabin Nuzuul karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah. Sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa kisah ini adalah kisah yang lemah (dha’if). Wallahu a’lam.
—
Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.
[Artikel ini bersumber dari buku penulis yang berjudul: “Kesaktian Batu Ajaib, Bukti Runtuhnya Aqidah Umat” yang diterbitkan oleh Maktabah Al-Hanif, Yogyakarta tahun 2010]
Artikel Muslim.Or.Id